Wednesday, October 28, 2015

BUNGA PEPAYA

Kemarin mulai lagi tur maksi bersama Dewi, satu kebiasaan yang sempat terhenti sekian lama, tanpa sadar penyebabnya. Berawal dari ajakan minggu lalu dan Dewi yang memilih lokasi. Mula-mula disebut Bunga Pepaya, saya langsung tahu itu restoran Manado di sekitaran Menteng. Yang jadi keraguan adalah kehalalan masakan yang dihidangkan. Buka google dan cek rumah makan satu itu. Informasi yang dibutuhkan tersedia jelas, termasuk jenis masakan yang dihidangkan. Jadilah hari penentuan.
Restoran ini mudah ditemui, Jalan RP. Soeroso nomor 16, sebelah kiri jalan. Tulisan besar berwarna merah akan terlihat dengan jelas. Begitu masuk, kami disambut petugas dengan ramah. Petugas ini tidak mengenakan seragam seperti pelayan lainnya. Ia menawarkan ikan bakar, tapi ukurannya besar yang tidak mungkin dihabiskan oleh dua orang imut ini.
Di depan pintu langsung terlihat lemari kaca yang berisi makanan. Ada berbagai kue khas Manado, seperti balapis, panada dan klappertaart. Lemari kaca berikutnya berisi macam-macam masakan yang di letakkan dalam wadah alumunium. Nantinya, masakan tersebut disendok ke dalam piring untuk disajikan di meja pemesan. Nah di lemari kedua ini ada cakalang fufu, cakalang pampis, ayam sereh, ayam tinorangsak. Baca menu ayam tinorangsak jadi teringat miss piggy. Jaman SMP dulu di Manado, pengalaman pertama tahu tinorangsak. Masakan itu haram karena babi. Ingatan itu masih ada sampai sekarang. Di lemari yang terakhir, tampak berbagai sayur, ada bunga pepaya dan kangkung.
Diskusi cukup lama dengan Dewi, apalagi dia sempat beberapa kali ganti menu. Akhirnya dipilih Kuah Asam Kerapu dan Tumis Bunga Pepaya. Pelengkapnya es brenebon untuk saya dan klappertaart untuk Dewi.
Es brenebon dan klappertart yang mula-mula datang. Es brenebon ini dengan permintaan khusus, tanpa campuran alpokat dan duren, seperti yang tersebut di menu. Di sajikan dalam gelas kaca, kacang merahnya tertutup serutan es yang ditambahi susu cokelat. Ketika akhirnya saya berhasil mengeruk hingga ke bawah, ternyata jumlah kacang merahnya tidak seperti yang dibayangkan. Kurang generous lah, walau cukup membuat segar di siang hari yang amat sangat terik itu. Saya tidak sempat menanyakan komentar Dewi atas klappertaartnya, tapi yang terlihat adonannya tidak selembut klappertaart yang biasa saya makan. Hingga es brenebon dan klappertaart tandas, makanan inti belum juga datang. Mari tunggu sambil tengok kanan kiri.
Dinding ruangan dipenuhi keramik warna biru dan putih, tampak sekali upaya untuk membuat ruangan menjadi elegan. Sofa empuk yang menyandar ke dinding juga dibalut kain berwarna biru, mendampingi kursi-kursi kayu yang berwarna keemasan. Meja marmer abu-abu terang dengan kaki besi yang tampak kokoh. Ketika saya datang, hampir seluruh meja restoran terisi. Para tamu makan sambil ngobrol sehingga cukup bising, terlebih karena jarak antar meja sangat dekat. Percakapan di meja sebelah bisa terdengar jelas. Tempat ini sebenarnya cukup nyaman. Hal ini terasa ketika sebagian besar pengunjung sudah meninggalkan tempat.
Dapur model terbuka. Pengunjung yang berdiri bisa dengan jelas mengamati kegiatan di dapur. Kalau dari tempat duduk, saya hanya melihat petugas dapur sedang berbagi informasi.

Makanan utama akhirnya datang. Aroma segar menyebar dari Kuah Asam Kerapu yang disajikan dalam mangkuk putih besar. Tumis bunga pepaya datang kemudian diikuti nasi putih dalam mangkuk kecil. Kuah asam kerapu ini benar-benar patut untuk ditunggu atau enggak rugi nunggu lama deh. Irisan daun bawang, tomat, cabe rawit, sereh dan kemangi tampak jelas menyertai potongan ikan. Kombinasi sereh dan daun kemangi menambah kesan segar pada masakan. Bumbu yang banyak itu tidak saling mendominasi, semua terasa pas. Bunga pepaya yang ditumis dengan daun jeruk dan daun bawang juga menambah selera makan. Rasa pahit bunga pepaya tidak terlalu kentara. Apalagi? Nasi putih? Ternyata nasi putih yang disajikan dalam mangkuk kecil itu tidak bisa kami habiskan. Kuah asam dan tumis bunga pepaya lebih banyak dimakan tanpa nasi dan itu yang membuat perut kenyang.
Cukup lama kami makan sambil ngobrol di situ, jam makan siang molor hingga jam 15:30. Ketika keluar restoran, kami langsung disambut macetnya Jakarta di saat jam pulang kantor.